ShoutMix chat widget
Bhokalor

3 Des 2010

Cerpen Pengalaman

"Besok, aku nggak mau puasa kalau bukaannya seperti ini terus," kataku, lalu aku meninggalkan meja makan.
Mulut bapakku sudah terbuka akan memarahiku, tapi tangan ibu segera menepuk tangan bapak. Jadinya bapak hanya bisa menarik napas panjang. Dengan lesu bapak menatap nasi dengan lauk ikan teri dan tempe di dalam piring. Tadi bapak sangat bernapsu ingin segera menyantap hidangan itu. Tapi selera bapak jadi hilang karena ulah Aku barusan.

Sebenarnya, mungkin bapak juga ingin makanan berbuka mewah seperti di rumah orang lain. Ada ayam goreng, rendang, kolak, bubur, es cendol, maupun yang lainnya. Tetapi tidak mungkin mereka setiap hari memakan makanan seperti itu.

Seharusnya Aku mengucap syukur Alhamdulillah masih bisa berbuka dengan makanan seperti ini. Karena di luar sana, masih banyak orang berbuka puasa dengan nasi aking dan ubi.

"Eca, makan yang banyak, ya. Nanti jangan lupa tarawih di mesjid," kata ibu pada Eca, adik Aku yang masih berusia sepuluh tahun itu.

Eca mengangguk dan segera menyantap makanannya.
Sementara di kamar, Aku duduk di tepi tempat tidur. Ia kesal sekali. Puasa sudah berjalan beberapa minggu, tapi makanan berbuka di rumah mereka sama saja dengan makanan sehari-hari. Kalau tidak nasi dengan lauk ikan teri, pasti dengan ikan gembung. Bahkan pernah dengan ikan asin. Bedanya, saat puasa ada teh manis panas. Seingatnya, hanya dua kali ada ayam goreng di meja makan ketika mereka berbuka.



Aku ingin makanan berbuka seperti di rumah teman-temannya. Banyak makanan enak-enak. Aku tahu bapak hanya Pensiunan, tidak punya penghasilan yang banyak. Tapi bapak Arief temannku, juga hanya Pensiunan. Makanan berbuka di rumah mereka jauh lebih enak daripada di rumah Aku.

"Dasar saja bapak yang pelit. Nggak mau mengeluarkan uang untuk menyenangkan anak-anaknya," omel Aku dalam hati sambil memegang perutnya yang lapar. Tadi dia hanya sempat meneguk sedikit teh manis panas. Entah sampai kapan aku tahan mengambek seperti ini.

Siang itu, ketika Aku sedang tidur-tiduran, terdengar ketukan di pintu rumah mereka. Aku tidak bergerak dari tempat tidurnya. Karena di luar ada Eca dan ibuku. Biar saja mereka yang membuka pintu itu.

Tidak lama kemudian terdengar suara orang berbicara di ruang tamu. Aku menajamkan pendengarannya, ia seperti mengenali suara itu.

"Tolonglah saya, Bu.. Keadaan Arief parah sekali."
Itu suara ibunya Arief.  Kenapa dengan Arief? Pikir Aku. Segera ia bangkit dan keluar dari kamar.
"Penabraknya lari begitu saja. Jadi kami tidak bisa meminta pertanggung-jawabannya," kata ibu Arief dengan suara terisak.
"Arief kenapa, Bu?" tanya Aku penasaran.

"Arief ditabrak mobil barusan. Sekarang berada di rumah sakit," ibu Aku yang menjawab.
Aku membekap mulutnya karena tidak percaya, tadi Arief mengajaknya bermain ke Lapangan, tapi Aku menolak karena merasa mengantuk.

"Terus, bagaimana keadaan Arief?"
"Sangat parah, Aku," sahut ibu Arief dengan suara lirih.
Ternyata, ibu Arief datang ke rumahku dengan maksud meminjam uang, karena mereka tidak punya simpanan sama sekali. Aku ingin tertawa mendengarnya, untung saja bisa ia tahan. Ibu Arief datang ke tempat yang salah. Mana mungkin mereka punya uang, makan berbuka puasa saja mereka selalu sederhana. Sementara di rumah Arief jauh lebih enak. Jadi pasti saja uang keluarga Arief lebih banyak dari uang mereka.

"Tolong saya, Bu. Saya tidak tahu lagi mau pinjam kemana," ibu Arief menatap ibu Aku dengan penuh harap. Aku sampai iba melihatnya.

Ibu kelihatan bingung.
"Kalau sudah ada uang, akan segera saya kembalikan, Bu."

"Kami tidak punya uang, Bu. Makanan untuk berbuka kami saja selalu lebih tidak enak daripada di rumah Ibu," sahut Aku cepat, ia tidak mau ibunya Arief selalu memohon-mohon, padahal mereka tidak bisa membantu.

"Aku, tolong diam. Ini bukan urusanmu," sahut ibu Aku cepat.
Aku diam. 

Ibu Aku masuk ke kamar, lalu keluar lagi dengan menggenggam uang di tangan. Mata Aku sampai melotot menatap uang-uang itu. Tidak disangkanya ibu punya uang sebanyak itu.

"Sebenarnya ini uang simpanan, untuk uang pendidikan anak-anak kalau sudah besar nanti. Tapi karena ibu sangat membutuhkan, akan saya pinjamkan. Tapi tolong ya, bu. Mohon segera dikembalikan."

Ibu Arief mengangguk-angguk dan menerima uang itu. Matanya kelihatan senang sekali. Sementara mulut Aku masih ternganga sampai ibu Arief pamit pulang.

"Aku, tutup mulutmu itu. Nanti kemasukan lalat, bisa batal puasamu," kata ibu menahan senyum.
"Ibu punya uang sebanyak itu?" tanya Aku masih tidak percaya, belum pernah dilihatnya uang sebanyak yang tadi. "Itu simpanan ayah dan ibu. Untuk kebutuhan mendadak dan sekolah kalian nanti, kalau sudah besar."

"Ternyata kita punya uang sebanyak itu, kenapa nggak pernah dipakai untuk membeli makanan berbuka puasa?"
Ibu tersenyum dan mengelus rambut Aku, "Kalau dibelikan makanan, berarti kita tidak punya uang itu lagi. Ibu tahu, kau selalu bandingkan makanan di rumah kita dengan makanan di rumah Arief. Tapi coba lihat sendiri, karena tidak berhemat, ibu Arief jadi tidak punya simpanan ketika anaknya mendapat kecelakaan. Padahal makanan sehat itu, tidak harus yang mahal, kan?"
Aku jadi mengerti, mengapa makanan di rumah mereka selalu sederhana. Ternyata untuk masa depan mereka juga. Lagipula makanan sederhana itu bukan berarti tidak enak.

"Jadi kau tidak boleh merajuk lagi kalau di meja makan kita hanya ada tempe dan tahu," kata ibu.
Aku mengangguk malu-malu.

"Tapi tenang saja, untuk berbuka nanti sore, akan ada makanan spesial. Ayam goreng dan kolak pisang."
Aku menatap ibu tidak percaya.

0 komentar:

Posting Komentar

IP
English French German Spain Italian Dutch Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified